keluarga bagaikan sebuah puzzle
yang kalau satu hilang maka tidak akan sempurna
tapi mereka bukan milik kita
mereka hanya titipan
yang suatu saat akan dipanggil oleh pemilik aslinya
kesedihan yang tak bisa diungkapkan
saat ada yang kembali ke pemiliknya
seseorang yang disayangi atau dicintai
suami yang meninggalkan isterinya
isteri yang meninggalkan suaminya
ayah atau ibu yang meninggalkan anaknya
atau bahkan anak yang meninggalkan orangtuanya
adalah suatu arus kehidupan yang harus dilalui
kematian itu wajar
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
kematian itu tekateki kehidupan
yang tak akan bisa dipecahkan oleh siapapun
hingga hari kiamat nanti
hanya DIA yang tahu...
hanya ALLAH SWT...
"terkadang kata yang tidak dapat diucapkan oleh mulut, dapat ditulis dengan indah oleh tangan"
Wednesday 29 December 2010
Wednesday 22 December 2010
Dia Tidak Memilihku
cerpen gw yang ini udah pernah terbit di koran Haluan padang, jadi pengen aja di tulis disini, sok silahkan dibaca...
Dia Tidak Memilihku
“Oci! Oci!” seorang perempuan berlari memasuki pagar.
“Imel! Kenapa lu?” tanya Oci langsung menghampiri Imel di pagar.
“Hanif!”
“Kenapa si Hanif?”
“Tu anak mo loncat”
Oci tertawa kecil mendengar kata Imel, “Loncat? Anak-anak banget sih, ngapain lu bilang ama gue?”
Imel menipiskan bibirnya, “lu denger dulu napa sih! dia mo loncat tu dari gedung sekolah kita yang tingginya 5 lantai.”
“Ha? Yang bener? Lu jangan becanda!”
“Gak, ini tu bener. Gue pikir lu kan temen deketnya Hanif makanya gue kesini. Untung kos lu gak jauh dari sekolah. Dia sama sekali gak mo turun, padahal ibunya udah dateng. Eh! Oci! Tungguin gue!”
“Siapa aja yang ada disana?” tanya Oci dengan nada khuatir sambil berjalan dengan cepat menuju sekolah yang tidak jauh dari kosnya.
“Banyak! Ibunya, polisi, guru, temen-temen kita yang blon pulang sekolah, trus masyarakat sekitar” jawab Imel yang ikut berjalan cepat disamping Oci, “ngomong-ngomong si Hanif punya masalah apa sih? Sampai-sampai dia mo bunuh diri segala”
Oci tidak menjawab pertanyaan Imel. Dia terus berjalan dengan cepat menuju sekolah. Hanif memang teman dekatnya, makanya tidak ada salahnya dia sangat khuatir. Oci tau apa yang membuat Hanif ingin bunuh diri. Tapi Oci merasa hal itu sangat tidak impas.
Mereka telah tiba di sekolah, disana telah banyak orang yang berkerumun seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan. Pandangan mereka semua tertuju pada seorang anak laki-laki yang sedang berdiri diatas gedung yang bertingkat lima tersebut sambil melihat ke kerumunan orang.
“Tante!” panggil Oci pada seorang wanita yang tampak shock.
“Oci! Hanif gak mau turun, dia gak mau bicara ama Tante” kata wanita itu sambil mengeluarkan airmata.
Oci langsung menuju anak tangga. Namun, dia dicegat oleh sekelompok polisi yang menjaga tangga tersebut.
“Maaf, Anda tidak boleh naik” kata salah seorang polisi itu pada Oci.
“Saya harus naik, nama saya Oci” kata Oci tidak sabar, “Hanif pasti mau bicara dengan saya.”
“Tunggu disini” seorang polisi naik dan menghilang dari pandangan Oci.
Oci menunggu dibawah tangga sambil berharap Hanif belum loncat. Semua orang berteriak pada Hanif mencoba membujuknya dari bawah, termasuk Ibunya yang tampak shok. Ternyata Hanif benar-benar ingin bunuh diri, semula Oci menganggap Hanif bercanda.
“Oci!” panggil polisi yang naik tadi sambil turun dari tangga, “Anda boleh naik”
Oci langsung naik tangga. Dia sudah tidak sabar untuk memarahi Hanif yang bertindak diluar dugaannya. Semula Hanif sangat ceria dan suka bercanda, dia tidak mungkin berpikir untuk bunuh diri. Tapi semenjak...
“Hanif!” panggil Oci begitu telah sampai dilantai 5.
Hanif tidak mengalihkan perhatiannya dari kerumunan orang yang berada dibawah. Oci berjalan dengan pelan mendekati Hanif.
“Jangan terlalu dekat” perintah Hanif dengan santai.
Oci langsung menghentikan langkahnya, “Bego banget sih lu!”
“Kalo gue loncat dari sini, langsung mati gak ya, Ci?” tanya Hanif masih memandang kebawah.
“Lu...” Oci kehabisan kata-kata untuk menjawabnya.
“Kalo gue mati, gue bisa masuk surga gak ya?”
“Dasar bego! Kalo lu bunuh diri, lu gak bakal masuk surga, yang ada lu bakal ngebusuk di neraka. Bunuh diri itu dosa, Nif!” Oci menjelaskan.
“Tapi buat apa gue hidup, toh gue juga dah punya banyak dosa.”
“Setiap manusia pasti punya dosa!”
“Tapi dosa gue lebih besar dari yang lain”
Oci mengerti kemana arah pembicaraan ini sekarang, “Yang ngebunuh Oca tu bukan lu, tapi preman-preman itu”
“Memang bukan gue, tapi gue yang jadi penyebabnya” suara Hanif berubah seketika.
“Penyebab?”
“Kalo saja gue gak telat waktu itu, semua gak bakal kejadian. Preman-preman itu pasti gak ketemu ama Oca dan Oca gak bakal dibunuh”
Suasana hening sejenak.
“Apa lu kira dengan lu bunuh diri, Oca bisa hidup lagi? Kalo memang iya, silahkan!” airmata Oci mulai keluar, “Asal lu tau, gue masih belum bisa nerima kematian Oca. Gak ada lagi orang yang bangunin gue kalo gue kesiangan, gak ada lagi yang ngajarin gue matematika dan gak ada lagi yang nemenin gue. Sekarang gue sendiri, tapi gue sama sekali gak putus asa! Sedangkan lu, lu masih punya nyokap yang sayang sama lu.”
“Apa lu tau, gimana hidup dengan rasa bersalah yang sangat besar?” tanya Hanif mengalihkan perhatiannya kepada Oci yang telah mengeluarkan banyak airmata.
“Oca sama sekali gak nyalahin lu”
“Lu tau darimana? Dia pasti udah marah ama gue”
“Lu lupa kalo gue kembaran dia, gue bisa tau isi hatinya”
“Gimana lu tau kalo dia udah gak ada” Hanif kembali menoleh kebawah.
“Gue tau, sebenernya selain rasa bersalah, lu juga gak mau hati lu tertambat di hati orang lain kan?”
Hanif terdiam mendengar ucapan Oci.
“Lu gak mau kalo nantinya lu suka ama cewek lain, lu pikir itu sebuah penghianatan bagi Oca. Jadi lebih baik lu mengakhiri hidup lu.” Lanjut Oci.
Hanif menoleh pada Oci, “Lu bener dan gue gak mau menghianati Oca.”
“Oca pasti gak bakal suka lu kayak gini. Oca pasti nyuruh lu buat ngelanjutin hidup dan mencoba membuka hati lu untuk oranglain supaya lu tu gak sedih cuma gara-gara dia”
“Oh ya...?”
“Gue tu tau gimana Oca, Nif! Dan gue lebih banyak tau daripada yang lu tau tentang Oca. Apa salahnya lu mulai lembaran baru hidup lu? Waktu gak bisa diulang, kalo udah kejadian gimana lagi?”
“Lagian siapa yang mau mulai hidup baru ama orang yang pernah ngebunuh cewek yang disayanginya, yang ada tu cewek pasti takut ama gue. Sama aja kan gue hidup sendirian, gak ada yang mau ngedeketin gue, yang pada akhirnya gue pasti berada di rumah sakit jiwa karena gak ada yang mau deket ama gue”
“Lu gak peduli ama nyokap lu? Dia nangis, Nif!”
“Emang dia peduli apa sih sama gue? Dia sibuk, yang dipikirin cuma gimana dapetin uang yang banyak. Selain Oca, gak ada lagi orang yang sayang sama gue”
“Ada!”
“Siapa?”
“Gue!” jawab Oci, “Gue sayang sama lu, sejak pertama gue ketemu, gue sayang sama lu dan sampai sekarang”
Hanif menoleh pada Oci yang telah mengeluarkan banyak airmata, “Gue juga sayang sama lu, tapi sebagai teman, gak lebih, sori”
Sesaat kemudian, Hanif langsung menghilang dari pandangan Oci. Dia memilih mati bersama cintanya dengan Oca. Dia sama sekali tidak memilih Oci.
----Tamat----
Dia Tidak Memilihku
“Oci! Oci!” seorang perempuan berlari memasuki pagar.
“Imel! Kenapa lu?” tanya Oci langsung menghampiri Imel di pagar.
“Hanif!”
“Kenapa si Hanif?”
“Tu anak mo loncat”
Oci tertawa kecil mendengar kata Imel, “Loncat? Anak-anak banget sih, ngapain lu bilang ama gue?”
Imel menipiskan bibirnya, “lu denger dulu napa sih! dia mo loncat tu dari gedung sekolah kita yang tingginya 5 lantai.”
“Ha? Yang bener? Lu jangan becanda!”
“Gak, ini tu bener. Gue pikir lu kan temen deketnya Hanif makanya gue kesini. Untung kos lu gak jauh dari sekolah. Dia sama sekali gak mo turun, padahal ibunya udah dateng. Eh! Oci! Tungguin gue!”
“Siapa aja yang ada disana?” tanya Oci dengan nada khuatir sambil berjalan dengan cepat menuju sekolah yang tidak jauh dari kosnya.
“Banyak! Ibunya, polisi, guru, temen-temen kita yang blon pulang sekolah, trus masyarakat sekitar” jawab Imel yang ikut berjalan cepat disamping Oci, “ngomong-ngomong si Hanif punya masalah apa sih? Sampai-sampai dia mo bunuh diri segala”
Oci tidak menjawab pertanyaan Imel. Dia terus berjalan dengan cepat menuju sekolah. Hanif memang teman dekatnya, makanya tidak ada salahnya dia sangat khuatir. Oci tau apa yang membuat Hanif ingin bunuh diri. Tapi Oci merasa hal itu sangat tidak impas.
Mereka telah tiba di sekolah, disana telah banyak orang yang berkerumun seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan. Pandangan mereka semua tertuju pada seorang anak laki-laki yang sedang berdiri diatas gedung yang bertingkat lima tersebut sambil melihat ke kerumunan orang.
“Tante!” panggil Oci pada seorang wanita yang tampak shock.
“Oci! Hanif gak mau turun, dia gak mau bicara ama Tante” kata wanita itu sambil mengeluarkan airmata.
Oci langsung menuju anak tangga. Namun, dia dicegat oleh sekelompok polisi yang menjaga tangga tersebut.
“Maaf, Anda tidak boleh naik” kata salah seorang polisi itu pada Oci.
“Saya harus naik, nama saya Oci” kata Oci tidak sabar, “Hanif pasti mau bicara dengan saya.”
“Tunggu disini” seorang polisi naik dan menghilang dari pandangan Oci.
Oci menunggu dibawah tangga sambil berharap Hanif belum loncat. Semua orang berteriak pada Hanif mencoba membujuknya dari bawah, termasuk Ibunya yang tampak shok. Ternyata Hanif benar-benar ingin bunuh diri, semula Oci menganggap Hanif bercanda.
“Oci!” panggil polisi yang naik tadi sambil turun dari tangga, “Anda boleh naik”
Oci langsung naik tangga. Dia sudah tidak sabar untuk memarahi Hanif yang bertindak diluar dugaannya. Semula Hanif sangat ceria dan suka bercanda, dia tidak mungkin berpikir untuk bunuh diri. Tapi semenjak...
“Hanif!” panggil Oci begitu telah sampai dilantai 5.
Hanif tidak mengalihkan perhatiannya dari kerumunan orang yang berada dibawah. Oci berjalan dengan pelan mendekati Hanif.
“Jangan terlalu dekat” perintah Hanif dengan santai.
Oci langsung menghentikan langkahnya, “Bego banget sih lu!”
“Kalo gue loncat dari sini, langsung mati gak ya, Ci?” tanya Hanif masih memandang kebawah.
“Lu...” Oci kehabisan kata-kata untuk menjawabnya.
“Kalo gue mati, gue bisa masuk surga gak ya?”
“Dasar bego! Kalo lu bunuh diri, lu gak bakal masuk surga, yang ada lu bakal ngebusuk di neraka. Bunuh diri itu dosa, Nif!” Oci menjelaskan.
“Tapi buat apa gue hidup, toh gue juga dah punya banyak dosa.”
“Setiap manusia pasti punya dosa!”
“Tapi dosa gue lebih besar dari yang lain”
Oci mengerti kemana arah pembicaraan ini sekarang, “Yang ngebunuh Oca tu bukan lu, tapi preman-preman itu”
“Memang bukan gue, tapi gue yang jadi penyebabnya” suara Hanif berubah seketika.
“Penyebab?”
“Kalo saja gue gak telat waktu itu, semua gak bakal kejadian. Preman-preman itu pasti gak ketemu ama Oca dan Oca gak bakal dibunuh”
Suasana hening sejenak.
“Apa lu kira dengan lu bunuh diri, Oca bisa hidup lagi? Kalo memang iya, silahkan!” airmata Oci mulai keluar, “Asal lu tau, gue masih belum bisa nerima kematian Oca. Gak ada lagi orang yang bangunin gue kalo gue kesiangan, gak ada lagi yang ngajarin gue matematika dan gak ada lagi yang nemenin gue. Sekarang gue sendiri, tapi gue sama sekali gak putus asa! Sedangkan lu, lu masih punya nyokap yang sayang sama lu.”
“Apa lu tau, gimana hidup dengan rasa bersalah yang sangat besar?” tanya Hanif mengalihkan perhatiannya kepada Oci yang telah mengeluarkan banyak airmata.
“Oca sama sekali gak nyalahin lu”
“Lu tau darimana? Dia pasti udah marah ama gue”
“Lu lupa kalo gue kembaran dia, gue bisa tau isi hatinya”
“Gimana lu tau kalo dia udah gak ada” Hanif kembali menoleh kebawah.
“Gue tau, sebenernya selain rasa bersalah, lu juga gak mau hati lu tertambat di hati orang lain kan?”
Hanif terdiam mendengar ucapan Oci.
“Lu gak mau kalo nantinya lu suka ama cewek lain, lu pikir itu sebuah penghianatan bagi Oca. Jadi lebih baik lu mengakhiri hidup lu.” Lanjut Oci.
Hanif menoleh pada Oci, “Lu bener dan gue gak mau menghianati Oca.”
“Oca pasti gak bakal suka lu kayak gini. Oca pasti nyuruh lu buat ngelanjutin hidup dan mencoba membuka hati lu untuk oranglain supaya lu tu gak sedih cuma gara-gara dia”
“Oh ya...?”
“Gue tu tau gimana Oca, Nif! Dan gue lebih banyak tau daripada yang lu tau tentang Oca. Apa salahnya lu mulai lembaran baru hidup lu? Waktu gak bisa diulang, kalo udah kejadian gimana lagi?”
“Lagian siapa yang mau mulai hidup baru ama orang yang pernah ngebunuh cewek yang disayanginya, yang ada tu cewek pasti takut ama gue. Sama aja kan gue hidup sendirian, gak ada yang mau ngedeketin gue, yang pada akhirnya gue pasti berada di rumah sakit jiwa karena gak ada yang mau deket ama gue”
“Lu gak peduli ama nyokap lu? Dia nangis, Nif!”
“Emang dia peduli apa sih sama gue? Dia sibuk, yang dipikirin cuma gimana dapetin uang yang banyak. Selain Oca, gak ada lagi orang yang sayang sama gue”
“Ada!”
“Siapa?”
“Gue!” jawab Oci, “Gue sayang sama lu, sejak pertama gue ketemu, gue sayang sama lu dan sampai sekarang”
Hanif menoleh pada Oci yang telah mengeluarkan banyak airmata, “Gue juga sayang sama lu, tapi sebagai teman, gak lebih, sori”
Sesaat kemudian, Hanif langsung menghilang dari pandangan Oci. Dia memilih mati bersama cintanya dengan Oca. Dia sama sekali tidak memilih Oci.
----Tamat----
Thursday 16 December 2010
Hilang
perlahan berhenti
hasrat itu menghilang
sebuah pertanda ataukah hanya sebuah ilusi
entahlah
kepada siapa harus mengadu?
ketika tidak ada lagi yang harus diadukan
hilang
ditelan keremangan malam
bintangpun tak mau keluar
hanya cahaya malu dari sang bulan
yang entah enggan entah segan
tampak dari balik awan hitam
hilang
oleh deburan laut di pantai
yang tampak sangat ganas menyapu pinggirannya
hingga tak terlihat sedikitpun bekas
tak ada jejak
hilang
oleh tingginya puncak gunung tertinggi
yang ditutupi awan tipis dipuncaknya
malu menampakkan keangkuhannya
tak tampak
samar-samar
hilang
ya hilang.
hasrat itu menghilang
sebuah pertanda ataukah hanya sebuah ilusi
entahlah
kepada siapa harus mengadu?
ketika tidak ada lagi yang harus diadukan
hilang
ditelan keremangan malam
bintangpun tak mau keluar
hanya cahaya malu dari sang bulan
yang entah enggan entah segan
tampak dari balik awan hitam
hilang
oleh deburan laut di pantai
yang tampak sangat ganas menyapu pinggirannya
hingga tak terlihat sedikitpun bekas
tak ada jejak
hilang
oleh tingginya puncak gunung tertinggi
yang ditutupi awan tipis dipuncaknya
malu menampakkan keangkuhannya
tak tampak
samar-samar
hilang
ya hilang.
Subscribe to:
Posts (Atom)