Saturday 17 July 2010

Didalam Damri

Hangatnya lampu samar-samar
dan nyamannya kursi dalam balutan kain bercorak biru
adalah sambutan yang mampu tentramkan penat.
Kursi bagian belakang tampak lebih menggoda
karna dihiasi lampu putih yang paling terang diantara yang lainnya
dan akan menjadi saksi mati perjalananku.
Tidak begitu ramai
hanya beberapa orang saja.
Lantunan musik dari pengamen jalanan.
Mengisi kekosongan acara sembari menunggu.

Aku sendiri mencoba membaca sebuah buku.
Sesekali melihat keluar jendela.
Suasana senja hari yang menenangkan.
Pengamen itu tak bosan melantunkan musik untuk menghibur.
Lumayan.
Namun aku sudah dibawa jauh oleh sajak-sajak Rendra.
Mencoba menebak makna.
Mencoba menyederhanakan bahasa.

Halaman 20.
Lantunan merdu pengamen jalanan lenyap.
Damri mulai bergerak.
Mengeluarkan suara yang sudah sangat kukenal.
Goncangan-goncangan kecil yang sudah sering kurasakan.

Halaman 21.
Sepasang muda mudi yang bercengkrama didekatku
menambahkan kebisingan yang telah terjadi.
Ribut
Berisik
Mengganggu otakku yang asyik bergelut dengan sebuah karya.

Halaman 22.
Seorang pria petugas damri
dalam balutan seragam yang sudah sering kulihat.
Berdiri membelakangiku.
Tangannya yang penuh dengan lembaran uang
menggapai lampu putih yang paling terang
dan mengubahnya menjadi lampu kuning yang samar-samar.
Tak hiraukanku yang butuh lampu putih.

Ah, menambah kacau pikiranku.
Ingin marah
tapi sadar itu tak pantas.
Dan buku itupun kututup.

No comments:

Post a Comment